Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia dinilai terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang dialami warga ahmadiyah sejak 2001 hingga 2011. Kepolisian pun membantah tegas hal tersebut.
"Itu semua tidak benar," kata Kabid Penum Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar ketika dikonfirmasi detikcom, Minggu (13/02/11).
Hari ini, LBH Jakarta beberkan keterlibatan kepolisian dalam aksi-aksi kekerasan terhadap warga Ahmadiyah. Menurut LBH Jakarta, keterlibatan kepolisian itu terbagi menjadi empat level, yakni infliction, instigation, consent dan acquiescence.
Infliction adalah menimbulkan penderitan, penghukuman dan pengalaman pahit. Dalam hal ini LBH mencontohkan polisi terlibat dalam pengrusakan bangunan masjid dan rumah di Manis Lor, Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat pada 2010, lalu di Parung pada 2005 dan Makassar 2011.
Untuk level instigation atau dorongan, LBH Jakarta mencontohkan penyerangan Ahmadiyah di Parung pada 2005. Kala itu polisi menyopiri mobil polisi yang dinaiki dan digunakan massa penyerang.
Sementara pada level consent atau persetujuan dicontohkan peristiwa Lombok 2002, Manis Lor 2010, Parung 2005, dan Cisalada 2010 maupun Cikeusik 2011, dalam rentang 1-3 bulan sebelum peristiwa penyerangan, aparat Muspida dan Muspika telah memberikan persetujuan atas tekanan-tekanan pihak-pihak perencana serangan untuk mengusir dan membubarkan Ahmadiyah dan kegiatan-kegiatannya.
Dan pada level acquiescence atau persetujuan diam-diam dicontohkan peristiwa pembakaran rumah di hampir semua peristiwa nyata-nyata disaksikan oleh aparat kepolisian, namun polisi melakukan pembiaran.
Selain membantah bahwa tuduhan itu tidak benar, Boy juga menegaskan bahwa kepolisian telah bekerja dengan sebaik-baiknya. "Polisi telah menangani masalah-masalah itu dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tugas pokoknya," tegasnya.detiknews.com